Ini Pesan Moral Gunungan Katil saat Tradisi Punggahan di Kandeman Batang
Batang, Terbilang.id -Tradisi punggahan jelang Ramadan, begitu lekat bagi masyarakat khusunya di Jawa Tengah. Tradisi ini sarat makna guna meningkatkan kadar iman agar khusyuk dalam menjalankan serangkaian ibadah puasa.
Namun ada sisi unik yang dalam tradisi punggahan yang dipraktikkan ribuan pelajar SMKN 1 Kandeman. Salah satu gunungan unik yang menyita pandangan banyak mata, adalah Gunungan Party.
Salah satu siswa pemeran pocong, Tegar mengatakan, tema Gunungan Katil Party dipilih karena momentumnya bertepatan dengan menjelang bulan suci Ramadan yang nuansanya sangat lekat dengan para setan dan iblis dibelenggu selama sebulan penuh.
“Setan sama hantu itu dipenjara, makanya Katil atau keranda mayat itu sebagai simbol pengingat bahwa sebentar lagi kita akan memasuki bulan puasa, jadi harus bisa jaga sikap dengan menjauhi hal dan perilaku yang bisa membatalkan puasa,” katanya, saat ditemui di halaman SMKN 1 Kandeman, Kabupaten Batang, Selasa (21/3/2023).
Akbar, siswa perancang Gunungan Katil Party menyampaikan, Ia bersama 4 rekannya menghabiskan biaya sebesar Rp300 ribu untuk membuat keranda berbahan bambu dan puluhan makanan kecil yang dihias pada Gunungan Katil Party.
“Buatnya sama teman-teman sampai dua hari dua malam. Sampai harus tidur dekat replika katil, supaya cepat selesai,” tuturnya.
Sementara itu, Kepala SMKN 1 Kandeman Agus Surono mengatakan, ada makna tersendiri dalam menyambut datangnya bulan suci Ramadan, dengan menggelar tradisi punggahan mengandung harapan agar kualitas ibadah umat muslim pun ikut meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
“Anak-anak juga semakin bersemangat menjalankan aktivitas ibadahnya. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah penerapan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), yang erat kaitannya dengan hidup berdampingan bersama adat budaya dan menjaga kearifan lokal agar tetap terjaga,” terangnya.
Sebanyak 37 gunungan yang berbalut makanan ringan dari hasil kreasi 1.400 pelajar dan 1 gunungan hasil bumi dari para guru itu, diarak di jalan desa sepanjang 5 kilometer.***