Disnakertrans Provinsi Riau Lakukan Pemeriksaan Terhadap 6 Pegawai di Lingkungan PHR
Pekanbaru, Terbilang.id - Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Riau memeriksa 6 pegawai di lingkungan PT Pertamina Hulu Rokan (PHR). Pemeriksaan digelar sebagai buntut kematian 5 pekerja di Blok Migas Rokan secara beruntun sejak Juli - November lalu.
Sebenarnya, Disnakertrans Riau memanggil langsung Direktur Utama PT PHR Jaffee Arizon Suardin untuk dimintai penjelasan soal kejadian tak biasa yang merenggut nyawa buruh migas tersebut. Namun, manajemen PHR hanya mengutus 6 orang pegawainya.
"Alhamdulillah sudah dilakukan pemeriksaan. Yang datang 6 orang tim dari PHR," kata Kepala Disnakertrans Provinsi Riau, Dr Imron Rosyadi MH, Rabu (30/11/2022).
Imron menjelaskan, pemeriksaan dilakukan oleh tim pengawas ketenagakerjaan yang menangani kasus tersebut. Ia meminta publik untuk bersabar menunggu hasil pemeriksaan dan penanganan kasus tersebut rampung.
Menurutnya, langkah pemeriksaan pejabat PHR adalah bagian dari tahapan kerja tim pengawas ketenagakerjaan. Pihaknya lebih lanjut akan turun untuk mengecek kondisi lapangan.
"Sabar dulu ya. Tim masih harus ambil data ke lapangan," terang Imron.
Sebelumnya, Disnaker Riau menyatakan akan menelisik soal penerapan aturan keselamatan dan kesehatan kerja di wilayah operasional PT PHR. Termasuk juga di antaranya menelisik soal kontrak-kontrak kerja yang diterapkan kepada buruh yakni menyangkut penerapan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) kepada buruh kontrak migas.
Imron menegaskan, pihaknya akan menegakkan aturan ketenagakerjaan bisa dipatuhi oleh seluruh pihak agar kondisi ketenagakerjaan di Riau, khususnya PT PHR tetap kondusif.
"Intinya keberlangsungan untuk tetap bekerja," jelas Imron.
Sementara itu saat dikonfirmasi kepada Kabid Pengawasan Ketenagakerjaan Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Provinsi Riau, Heru Enggan membalas konfirmasi Terbilang.id begitu juga dengan salah satu Pegawai PHR Enggan untuk membalas konfirmasi Terbilang.id
Sedangkan Seorang buruh kontrak yang diwawancarai menyatakan, "Masa kerja buruh saat ini sangat membuat tekanan psikologis kepada mereka. Soalnya, sejumlah buruh hanya memiliki kontrak kerja per 3 bulan. Selebihnya juga ada yang bekerja dengan kontrak 6 bulan atau setahun".
"Jadi, sesungguhnya kami ini diterpa Virus H2C. Harap - harap Cemas. Saya bersama rekan - rekan buruh kontrak lain merasa tertekan dengan masa kontrak yang sangat singkat dan tak menentu ini," kata HBS, seorang pekerja PKWT PHR.
HBS yang bekerja dengan status Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) mengaku kerap dibayang-bayangi oleh ancaman pemutusan kerja karena masa kontrak yang segera berakhir. Padahal, ia dan rekan-rekannya memiliki tanggung jawab dan beban hidup besar, di antaranya memastikan anak-anak tetap bisa bersekolah dan kebutuhan rumah tangga terpenuhi.
Ia menduga, kasus kematian pekerja kontrak di Blok Rokan yang heboh pekan lalu kemungkinan disebabkan tingginya tekanan psikologis pekerja. Akibatnya, muncul stres dan beban pikiran yang sangat berat.
"Khawatir kalau kontrak 3 bulan diputus. Lalu mau kerja apa lagi? Pola kontrak PKWT ini sangat tidak manusiawi dan cenderung membuat pekerja memiliki beban psikologis yang berat," kata HBS.
Ia juga menyebut kalau besaran upah buruh kontrak migas saat ini cenderung stagnan. Dengan gaji pokok bervariasi antara Rp 3,2 juta sampai Rp 4,2 juta per bulan, maka sesungguhnya hal itu sangat pas-pasan untuk memenuhi hidup keluarga.
"Apalagi sejak dihapusnya upah minimum sektoral migas, maka penghasilan menjadi terbatas. Kalau sudah punya anak istri mungkin kurang. Upah itu hanya layak untuk orang lajang, belum berkeluarga," kata HBS.
Ia juga menyinggung soal minimnya biaya ekstra fooding (puding) yang diberikan perusahaan tempatnya bekerja. HBS mengaku hanya mendapat bantuan puding sebesar Rp 7 ribu per hari.
"Kalau uang puding Rp 7 ribu per hari, maka cukup untuk segelas kopi. Bagaimana badan mau fit dan stamina terjaga," kata HBS.
HBS merupakan salah satu pekerja kontrak pada perusahaan sub kontraktor PT Pertamina Hulu Rokan (PHR). Sejak blok migas Rokan kembali ke pangkuan ibu pertiwi (istilah menunjukkan diambil oleh BUMN), praktis tidak ada perubahan tentang kebijakan ketenagakerjaan di Blok Rokan, bahkan cenderung menurun bila dibanding era pengelolaan PT Chevron Pacific Indonesia (CPI). Perlindungan tenaga kerja kontrak disebut sangat rentan, meski bekerja di industri strategis nasional sekalipun.
"Jadi ada benarnya juga kalau ibu kandung disebut lebih kejam dibanding ibu tiri. Kami meminta agar PHR segera melakukan evaluasi konkret soal ketenagakerjaan di Blok Rokan," kata HBS.
Penulis : Ade Sugiarto