Diduga Akibat Perundungan Kakak Kelas, Bocah SD Kelas II Di Inhu Meninggal Dunia

Diduga Akibat Perundungan Kakak Kelas, Bocah SD Kelas II Di Inhu Meninggal Dunia
Ilustrasi Perundungan Bocah SD Di Kabupaten Inhu

Indragiri Hilir, Terbilang.id - Duka mendalam menyelimuti dunia pendidikan Riau. Seorang siswa kelas 2 Sekolah Dasar di Kabupaten Indragiri Hulu, berinisial C, menghembuskan napas terakhirnya pada Senin dini hari, setelah sebelumnya diduga mengalami perundungan berat oleh kakak kelasnya. Korban sempat menjalani perawatan intensif di RSUD Indrasari Rengat akibat memburuknya kondisi kesehatan: tubuh lebam, sering sakit, hingga muntah darah.

Ayah korban, Gimson Butar-butar, menceritakan bahwa peristiwa bermula pada Senin, 19 Mei 2025, namun dirinya baru mengetahuinya keesokan harinya. Saat itu, C mengeluh kesakitan dan tampak mengalami luka-luka yang mengkhawatirkan. Laporan kepada pihak sekolah segera dilakukan, hingga mediasi digelar pada Rabu malam (21/5), menghadirkan siswa-siswa kelas 5 yang diduga menjadi pelaku.

“Anak saya mengeluh sakit terus, dan setelah dimediasi, mereka mengaku telah memukul anak saya,” ujar Gimson. Meski telah dibawa ke klinik dan kemudian dirawat di rumah sakit, nyawa C tak tertolong.

Kasus ini mencerminkan betapa rentannya sistem pengawasan dan perlindungan anak di sekolah, terutama dalam menangani kasus kekerasan atau perundungan (bullying). Kepala sekolah mengakui bahwa tiga siswa yang diduga sebagai pelaku telah dipanggil dan mengakui perbuatannya. Sayangnya, tidak ada laporan langsung dari korban, dan kehadiran siswa yang tidak konsisten tampaknya belum cukup menjadi tanda bahaya bagi pihak sekolah.

Tragedi ini memperlihatkan urgensi pembenahan sistemik. Tidak cukup hanya dengan mediasi atau pemanggilan siswa. Sistem deteksi dini, pelatihan guru, dan keberanian siswa untuk melapor harus dibangun sejak dini. Lebih dari itu, setiap sekolah wajib memiliki sistem tanggap darurat psikososial dan bekerja sama dengan psikolog anak.

Kematian C bukan sekadar berita duka. Ini adalah alarm keras bagi semua pihak: sekolah, orang tua, dan pembuat kebijakan. Kita tidak boleh lagi menormalisasi kekerasan di lingkungan pendidikan, sekecil apa pun itu. Anak-anak datang ke sekolah untuk belajar, bukan untuk disakiti baik secara fisik maupun mental.

Kami mengajak semua pemangku kepentingan untuk bersama-sama:

  • Menanamkan nilai empati dan anti-kekerasan di sekolah

  • Membangun jalur pelaporan yang aman dan dipercaya oleh siswa

  • Mewujudkan lingkungan belajar yang inklusif, ramah anak, dan penuh kasih

Untuk C, kami panjatkan doa dan duka sedalam-dalamnya. Untuk kita semua, semoga ini menjadi cambuk untuk tidak tinggal diam terhadap segala bentuk kekerasan terhadap anak. (*)